:alert("Selamat Datang Di Blog('SURIP COMUNITY')");

Minggu, 04 Desember 2011

TIADA HARI TANPA NGOPI

INILAH KAMI SEHARI HARI


Selamat pagi Indonesia

Sudah sikat gigi kah kau?

Sudah mandi kah kau?

Kalau sudah marilah kita berceritera tentang kisah di negri ini, tentang dirimu tentunya.

Sambil menikmati sepiring kue kering, secangkir kopi panas.

Jangan kau tanya rokok pada ku. Aku miskin dan orang miskin sudah dilarang merokok.

Katanya orang miskin itu ngelunjak di negri ini

Udah dikasih bantuan kesehatan, eh—masih merusak kesehatan juga.


Begitulah, kehidupan orang miskin sering dijadikan alasan untuk diturunkan atau tidaknya uang subsidi.

Hai Indonesia, hari ini tarif listrik naik. Harga sembako melonjak tajam

Pengusaha ketar-ketir. Industri-industri kecil koma. Para pekerja ngos-ngosan.

Apa pula kau ini Indonesia. Katanya tanahmu kaya raya.

Susu dan madu pangan utama yang telah diceriterakan seseantero bumi

Tapi rakyatmu di dasar jurang kemiskinan. Rakyatmu mengais sampah untuk dimakan

Apa pedulimu?

Apa upayamu?


Orang-orang yang kau percaya hanya menghitung-hitung

Mereka enggan meilah-milah. Koruptor menanggung yang sama dengan pencuri ayam

Apakah sudah kau diskusikan ini dengan garudamu yang agung itu?

Yang menenteng slogan berisi kesamaan dalam warna-warni dan tameng berisi Ketuhanan dan keadilan

Rupa-rupanya ceritera tentang mu yang melegenda di kertas-kertas kemerdekaan

Telah koyak dipelataran rumah kaum imperealis yang katanya membenci imperealisme

Lucu!

Inikah dongeng sebelum tidur versi Nusantara?


Kutemui dua janda tua, di rumah berdidnding putih

Rumah yang tua, seringkih mereka yang berjalan tertatih

Kusen-kusen cokelat tua yang telah memudar sesedikit

Berdua mereka duduk memegang potret hitam putih dua lelaki berwajah kekar

Yang mereka panggil: suamiku

Yang mati di arena pertempuran tatkala merah putih Indonesia ditambal dengan mortir

Selongsong peluru; belulang; dara; teriakan: merdeka

Yang dipuja-puji dalam buku-buku sejarah kosong di ruang-ruang kelas tempat generasi muda mengunyah angka-angka dan huruf-huruf

Yang pada titik berikut menjadi penjahat di suatu persidangan anak negeri yang telah adem menikmati sejuknya kemerdekaan


Indonesia, mana katamu tentang bangsa yang besar mencintai para pahlawannya

Kulihat dua janda itu diadili bak penjahat di rumah mereka sendiri

Janda-janda dua arsitek republik ini; janda-janda itu ibuku; janda-janda itu anak-anakmu

Aku resah tentangmu Indonesia. Rupamu cemang-cemong oleh cucu-cucumu yang lupa pada moyangnya sendiri

Mereka yang katanya pintar hukum pun masih beretorika tentang ini-itu

Bla—bla—bla—bla—

Bah! Negeri macam apa kau ini Indonesia. Jasa pejuang-pejuangmu kau hargai dengan rupiahmu.

Orang-orang pintarmu hanya pecundang sok hebat yang nyata-nyatanya hanya menghuni bangku cadangan karena takut ditekling di lapangan


Sembunyi-sembunyi berbicara soal strategi yang benar

Kerjanya salah melulu (jadi mau ketawa)

(Indonesia ayolah makan dulu kue kringnya. Ma’af kalau kopinya terlalu pahit.

Gulanya habis di dapur. Sedangkan harga sembako naiknya gak pake kompromi)

Embun pagi menjadi kaca di dedaunan hijau

Di pelataran rumah-rumah negri

Aku tanam padi di sawahku yang sepetak untuk jutaan perut kerontang


Karena sawah-sawah telah punah oleh gerayangan beton-beton

Aku rindu kicau parkit di pagi hari

Kicau yang terbungkam arus globalisasi

Hutan habis dimamah ketamakan. Asap-asap merobek udara Nusantara yang nyaman

Suatu ketika kudengar  tol akan dibuka lagi sekilometer. Oh…….aku resah pada sepetak sawah ku.

Menikmati sunrise di pantai-pantai Nusantara

Menikmati ombak hitam di bibir-bibir pantai


Hanya mampu mengelus dada, mengelus tulang yang keropos

Ikan-ikanku hilang dari akuarium negeri, nelayan-nelayanku semakin miskin

Hanya mampu berseru: Oh….Tuhan!

Indonesia, aku marah!

Srikandi-srikandi negri ini mati di pelataran negri lain, sedang negri ini adem ayem

Patung-patung moyangku di curi tetangga-tetangga, sedang negri ini tak punya proteksi

Aku lihat bocah-bocah menjadi robot di negri sebrang, sedang di sini kita hanya berdiskusi soal konsep yang memakan banyak biaya

Aku lihat sekolah-sekolah menjadi kandang kambing, sedang uang habis untuk hura-hura mereka yang berkuasa


Malulah pada diskusi-diskusi

Malulah pada konsep-konsep

Malulah pada titel-titel

Malulah pada janji-janji

Malulah pada rasa marahku!

(Kue keringnya habis? Oh…ma’af Indonesia. Akan kusuruh anak perempuanku mengambilnya lagi. Tapi kali ini ubi kering yang digoreng. Kusebut kue kering biar sedikit elit. Maklum, orang negri ini malu kalau hanya makan ubi)

Sembahku pada Gusti Agung yang bertahta atas alam semesta


Ku sua dirimu dalam sepi, dengan kerudung nestapa

Menggapai-gapai cahayamu yang agung

Karena hanya padamu aku meminta, duh Gusti Agung.

Ku lihat merah putih telah dilucuti

Ku lihat Pancasila dikebiri, Bhineka Tunggal Ika diperkosa lima pria

Lima tahun kesekian berlalu dengan ceritera-ceritera sama dari pangung ke pangung

Indonesia masih adakah kau dengan sumapah-sumpahmu di Rengasdengklok?

Atau sudah lupakah kau hanya karena secangkir kopi dan sepiring ubi kering ini?


Sudahlah jangan kita berbasa-basi

Jangan juga bertele-tele, aku bosan dengan itu

Marilah kita buka-bukaan, nyatanya Indonesia  rupamu tak semolek namamu

Menatap gedung hijau-putih yang pongah

Begitu digdaya rupanya, berisi orang-orang pilihan

Berisi juga dipan-dipan bersalut emas perak.

Betapa kerontangnya perut para gepeng; betapa makmurnya tidur di balik tembok hijau-putih


Aku mau bertanya banyak tentang mereka yang sering membolos dengan upah yang sama di akhir bulan. Kemanakah suara ku dan teman-teman ku?

Oh….guruku di pedalaman Papua, sudah makankah kau bersama anak isterimu?

Betapa rupamu seagung jiwamu yang tulus

Demi merah-putih bangga berkibar di muka dunia

Demi merah-putih tak bodoh-bodoh amat.

Guruku jangan cuma kau ajari Matematika anak didikmu

Sebab pakar berhitung banyak yang berkumpul di balik tembok hijau-putih.

Akhirnya Indonesia jadi sering hitung-hitungan, bahkan untuk rakyatnya sendiri.


Bagaimana Indonesia?

Keluh, kesah, ceritera, dan curhat ini

Hanya sekian dari rerupa rasa kesal yang menggantung

Di bilik-bilik hati:

Kaum manusia Nusantara tercecer yang duduk di bawah tiang merah-putih

Cemang-cemong oleh orang-orang yang keluar-masuk universitas-universitas ternama

Ternyata titel mereka hanya omong kosong.

Akhirnya:


Mari kita selesaikan kopi dan ubi kering ini.

*Puisi ini aku tulis setahun lalu, saat gelisahku pada Indonesia memuncak. Kekasihku ini mulai selingkuh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar